Seperti perang lain, baku serang Israel – Iran membuat perempuan dan anak menjadi korban. Jumlahnya dikhawatirkan terus bertambah karena belum ada tanda perang akan berhenti.
Hingga Minggu (15/6/2025), sudah 80 orang tewas dan 800 lain cedera akibat serangan Israel ke Iran. Dari 80 korban, 60 tewas akibat serangan pada Jumat dini hari.
Iran menyebut, ada 26 anak tewas di satu lokasi di Teheran. Rumah mereka hancur akibat serangan Israel kala mereka sedang tidur lelap.
Israel mengancam akan menyerang lagi setelah beberapa rudal Iran lolos dari sistem pertahanan udara Israel. Rudal-rudal itu menghancurkan aneka bangunan di Tel Aviv.
Militer Israel, Tzahal, telah memerintahkan warga mengungsi. Perintah terutama ditujukan kepada warga yang tinggal di sekitar pabrik dan gudang persenjataan serta markas Tzahal.
Sejak Jumat siang, Iran terus menyasar berbagai fasilitas pertahanan Israel. Mayoritas fasilitas itu berada di tengah permukiman dan pusat bisnis. Markas besar Tzahal berada di kawasan Hakriya, salah satu distrik bisnis di Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, serangan Israel sejauh ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang akan terjadi dalam beberapa hari mendatang. Iran juga sesumbar akan membalas lagi setelah Israel menyerang dua kilang minyak Iran.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menegaskan, serangan Iran terhadap Israel baru akan berakhir jika Israel pun menghentikan menyerang Iran. ”Kami ini dalam posisi membela diri dan ini sah. Pembelaan ini respons kami terhadap agresi. Jika agresi berhenti, tentu saja respons kami juga akan berhenti,” kata Araghchi.
Israel memiliki berlapis sistem pertahanan udara. Sistem itu bisa melacak dan menjatuhkan rudal hingga jarak 2.000 kilometer. Hanya saja, para pejabat Israel mengakui sistem itu tidak sempurna. Terbukti, tetap saja ada rudal Iran yang lolos dan menghantam kawasan berpenduduk.
Setidaknya 10 orang tewas dalam serangan Iran, Sabtu-Minggu. Sampai sekarang, 13 warga Israel tewas. Korban tewas termasuk tiga anak dan remaja.
Wahid Yassin, warga Tel Aviv, menceritakan, ledakan rudal yang menghantam apartemennya sangat kuat. Ledakan hampir merobek pintu tempat perlindungan bom miliknya.
Ketika keluar, ia melihat anak perempuan tetangganya yang sendirian dan amat terkejut. ”Kedua saudara perempuannya dan ibunya tewas akibat ledakan. Dan, dia tiba-tiba ada di atap, sendirian, dan gemetar,” ujarnya.
Ada ratusan orang yang dilaporkan masih hilang. Sejumlah pesawat nirawak dikerahkan untuk mencari korban.
Di Iran, dampak serangan lebih buruk karena hampir tidak ada tempat perlindungan seperti di Israel. Serangan pada Jumat menyasar rumah susun 14 lantai di Distrik Shahid Chamran, Teheran. Dampaknya, 60 orang yang 14 di antaranya anak-anak, tewas.
Para pemimpin dunia mendesak Israel dan Iran meredakan ketegangan. Situasinya sudah mengkhawatirkan, apalagi jika fasilitas program pengembangan nuklir yang diserang.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menelepon Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman untuk membicarakan isu ini dan memperingatkan konsekuensi global dari konflik Israel-Iran. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer juga akan mengerahkan pesawat tempur dan aset lain ke Timur Tengah untuk memberi bantuan darurat sambil meminta kedua pihak stop saling serang.
Korban terbanyak selama konflik Israel, Iran, dan Palestina
Dalam konflik apa pun, anak-anak dan perempuan selalu menjadi korban terbanyak. Setidaknya itu hasil analisis Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dari perang Gaza. Di Gaza, selama periode enam bulan pertama, hampir 70 persen korban tewas yang diverifikasi PBB adalah anak-anak dan perempuan.
Sekitar 44 persen korban anak-anak dan 26 persen perempuan. BBC News, 8 November 2024, menyebutkan, Israel mengaku hanya menargetkan Hamas dan sudah berupaya mengurangi risiko bagi warga sipil dengan menggunakan amunisi yang tepat.
Namun, faktanya, PBB telah memverifikasi 8.110 orang yang tewas di Gaza dari November 2023 hingga April 2024. Paling banyak berusia 5-9 tahun. Sekitar 80 persen korban tewas di tempat tinggal atau perumahan.
Data ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap kematian warga sipil dan dampak dari sarana dan metode pertempuran. Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan jumlah korban tewas sedikitnya 43.300 orang selama 13 bulan terakhir. Sekitar sepertiganya anak-anak.
Hasil serupa juga ditemukan dari analis gabungan Oxfam dan Action on Armed Violence (AOAV) pada 10 Februari 2024. Lebih dari 6.000 perempuan dan 11.000 anak tewas akibat serangan Israel di Gaza.
Angka ini melampaui rekor sebelumnya di Irak pada tahun 2016 dengan 2.600 perempuan yang tewas. Sementara di Suriah, sebanyak 4.700 anak tewas terbunuh setiap tahun selama tahun-tahun awal perang.
Menurut studi yang diterbitkan di The Lancet, korban tak dikenal yang terkubur di bawah reruntuhan, bersama dengan mereka yang meninggal karena kelaparan atau runtuhnya layanan kesehatan, dapat mendorong jumlah korban tewas di atas 186.000 orang.
Sementara itu, krisis kemanusiaan terus meningkat. Lebih dari 25.000 anak telah kehilangan orangtua atau menjadi yatim piatu. Banyak di antara anak itu jadi catat.
Perempuan, yang terkena dampak secara tidak proporsional, kini memimpin rumah tangga di tengah kehancuran. Sementara ibu hamil dan menyusui berjuang untuk bertahan hidup di tengah sistem perawatan kesehatan yang gagal. ”Trauma yang dialami anak-anak tidak dapat digambarkan. Banyak yang kehilangan anggota tubuh atau mengalami tekanan emosional mendalam,” kata Direktur Juzoor, mitra Oxfam, Umaiyeh Khammash.
Kepala HAM PBB Volker Türk mengatakan, tingkat pembunuhan dan cedera warga sipil sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ini konsekuensi langsung dari kegagalan mematuhi prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional.
Ia mengutip hukum pembedaan yang mengharuskan pihak yang bertikai untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil. Harus ada pula penilaian proporsionalitas, yang melarang serangan di mana kerugian bagi warga sipil lebih besar daripada keuntungan militer, dan tindakan pencegahan dalam serangan.
Laporan PBB itu juga mengatakan, cara pihak yang bertikai melakukan konflik di Gaza telah menyebabkan penderitaan manusia yang mengerikan. Israel menghancurkan infrastruktur sipil. Israel membiarkan banyak warga sipil hidup terlunta dan kelaparan. ”Jelas bahwa anak-anak dan perempuan yang selalu harus membayar mahal atas perang yang tidak masuk akal ini,” kata Türk.
Terus meningkat
Dalam laporan terbaru UNICEF ”Prospek untuk Anak-anak 2025: Membangun Sistem yang Tangguh untuk Masa Depan Anak-anak” disebutkan jumlah anak-anak yang tinggal di wilayah konflik meningkat dua kali lipat pada 2025. Lebih dari 473 juta anak—lebih dari satu dari enam anak di seluruh dunia—kini tinggal di daerah yang terdampak konflik, termasuk Gaza, Sudan, dan Ukraina.
Persentase anak-anak di dunia yang tinggal di wilayah konflik meningkat dua kali lipat, dari sekitar 10 persen pada 1990-an menjadi hampir 19 persen saat ini. Di tengah meningkatnya persaingan geopolitik dan kelumpuhan lembaga multilateral, baik aktor negara maupun non-negara tampaknya semakin mengabaikan hukum internasional yang dirancang untuk melindungi penduduk sipil. Ini terbukti dengan banyaknya serangan terhadap infrastruktur sipil, seperti sekolah dan rumah sakit.
”Gagalnya upaya selama puluhan tahun untuk melindungi warga sipil ini berdampak besar pada anak-anak. Selain risiko terhadap nyawa mereka, anak-anak juga menghadapi pengungsian dan ancaman kelaparan serta penyakit. Ada juga risiko besar terhadap kesejahteraan psikologis mereka. Sistem multilateral telah berjuang untuk merespons secara efektif. Upaya bersama dan berkelanjutan diperlukan untuk membalikkan kerugian yang terjadi beberapa tahun terakhir,” sebut laporan UNICEF.
Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell mengatakan, dalam sejarah UNICEF, tahun 2024 menjadi salah satu tahun terburuk bagi anak-anak, baik dalam hal jumlah anak yang terkena dampak maupun tingkat dampaknya terhadap kehidupan mereka.
Menurut Russell, seorang anak yang tumbuh di zona konflik jauh lebih mungkin putus sekolah, kekurangan gizi, atau dipaksa meninggalkan rumah mereka dibandingkan dengan seorang anak yang tinggal di tempat-tempat tanpa konflik. ”Ini tidak boleh menjadi normal baru. Kita tidak dapat membiarkan satu generasi anak-anak menjadi korban perang yang tidak terkendali di dunia,” ujarnya. (AP/AFP)
Leave a Reply